Langsung ke konten utama

Mengapa Anak Jalanan Enggan Bersekolah Sedangkan Pemerintah Telah Memberikan Pembebasan Biaya Pendidikan

Mengapa anak jalanan enggan untuk bersekolah secara formal sedangkan pemerintahan sudah memberikan pembebasan biaya pendidikan?




   Anak jalanan didefinisikan sebagai anak manusia dengan batasan umur 17 tahun kebawa yang melakukan aktivitasnya di pinggiran jalan atau di jalanan umum, di tempat ramai, terminal stasiun dan bahkan di lampu merah, dengan tujuan untuk meminta-meminta uang baik atas kehendaknya sendiri, kelompok atau di suruh orang kepada setiap orang.
    Anak jalanan yang sering di katakan orang sebagai alat pencari uang bagi kaum premanisme ternyata mempunyai hak dan kewajiban. Mereka yang selama ini hidup menyendiri berteman dengan sesama anak jalanan.
    Ilmu ekonomi berpandangan apapun yang di lakukan seseorang atau sekelompok orang umumnya selalu di lakukan berdasarkan pertimbangan untung-rugi. Dengan kata lain,ilmu ekonomi berpandangan bahwa anak-anak jalanan pun bertindak rasional. Mereka akan tetap menjadi anak jalanan selama biaya ekonomi sangat kecil. Dengan kata lain mereka akan menolak mengikuti program-program pembinaan yang di berikan pemerintah,jika di anggap biaya ekonomi dari pengikut program-program tersebit amat banyak.
   Untuk memperjelas pembahasan,kita fokuskan pembahasan pada kegagalan program penyekolahan anak-anak jalanan. Kegagalan tersebut membawa kepada pertanyaan "Mengapa anak jalanan enggan untuk bersekolah?" Dari sudut pandang ilmu ekonomi jawabannya sangat jelas yaitu biaya ekonomi yang relevan bagi anak-anak jalanan adalah sangat besar. Biaya ekonomi yang relevan bagi anak-anak jalanan dalam memutuskan untuk bersekolah atau tidak adalah pendapat yang di korbankan. Anggap pendapatan bersih anak tersebut dalam sehari minimal Rp10.000 dengan demikian biaya ekonomi bila anak-anak itu bersekolah,maka pendapatan yang di korbankan per hari adalah Rp10.000 kalau sehari sekolah per minggu adalah enam hari berarti pendapatan yang di korbankan adalah Rp60.000 dalam sebulan pendapatan yang di korbankan Rp240.000.000.-
    Maka untuk tamat SD (Sekolah Dasar) saja dengan anggapan tidak pernah tinggal kelas. Pendapatan yang di korbankan selama 6 tahun atau 72 bulan adalah Rp17.280.000.00 dengan demikian ekonomi dari berselah sampai tamat SD saja melebihi Rp17 juta. Selain pendapatan yang di korbankan sangat besar prospeknya. Penghasilan yang di peroleh dari bekerja dengan mengandalkan ijazah SD terlalu kecil di bandingkan penghasilan yang harus di korbankan untuk mendapatkan ijazah tersebut.
    Pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih cepat mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan di lingkungan kerja. Oleh karena itu tidaklah berarti apabila negara yang memiliki pendudukan dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat.
    Persoalan ekonomi merupakan salah satu persoalan sangat penting dalam proses pendidikan formal. Oleh karena itu bilamana ekonomi seseorang mengalami kesuraman niscaya proses pendidikannya akan terhambat. Bahkan mungkin terjadi proses pendidikannya akan terhenti disebabkan ketidakmampuan ekonomi keluarga membiayai pendidikannya.
Banyak murid di sekolah dasar yang memiliki latar belakang keluarga yang berekonomi lemah seperti orangtuanya bekerja sebagai buruh bangunan, tukang ojek, atau tukang becak. Pekerjaan tersebut tidak berarti tidak memperoleh penghasilan namun hasil yang diperoleh tidak cukup untuk memenuhi keperluan hidup rumah tangga mereka akibatnya pendidikan anak  anak mereka terbengkalai dan bahkan ada yang berhenti. Hal ini terjadi disebabkan oleh semakin tingginya biaya pendidikan ini,mulai dari tingkat SD hingga peguruan tinggi. Disamping itu, rendahnya ekonomi keluarga dapat pula berdampak pada kelanjutan pendidikan anak bahkan ada yang putus sekolah dan menjadi anak jalanan.
    Begitu banyak orang yang menilai negative terhadap anak jalanan tanpa mengetahui kondisi anak jalanan tersebut dengan sesungguhnya. Coba bayangkan ketika kita di lahirkan kedunia dalam kehidupan serba pas-pasan dan miskin, apakah kita menyalahkan orang tua kita? Disini saya melihat banyak hal yang sangat berbeda. Dimanakah peran pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan? Apakah pemerintah daerah maupun pemerintah pusat sudah benar-benar menuntaskan kemiskinan yang saat mereka berjanji untuk menuntaskan kemiskinan di Indonesia. Hal ini sangat terasa kalau hidup ini adalah perjuangan namun bagaimana dengan tanggung jawab pemerintah apakah hal ini terus akan berjalan sesuai dengan kodrat masing  masing manusia? Coba bayangkan bila nasib kita sama dengan mereka.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Pemerintah Tidak Mencetak Uang Banyak,Sedangkan Masalah Ekonomi Terkait Dengan Kesejahtera Dan Kesempatan Kerja

Mengapa Pemerintah Tidak Mencetak Uang Banyak,Sedangkan Masalah Ekonomi Terkait Dengan Kesejahtera Dan Kesempatan Kerja Dalam ekonomi tradisional, pengertian yang didefinisikan sebagai alat tukar. Tidak hanya uang seperti sekarang ini, benda lain seperti emas, perak, bahkan garam pun bisa dijadikan uang barang. Syaratnya ialah benda itu diterima secara umum oleh seluruh masyarakat setempat. Ilmu ekonomi modern mendefinisikan pengertian uang lebih luas lagi. Bukan hanya sebagai alat pembayaran jual beli barang, jasa, dan kekayaan lain, melainkan juga pembayaran utang. Beberapa ahli menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran. Mengapa Negara Tidak Mencetak Uang Yang Banyak Agar Kemiskinan Terhapuskan?Jadi gini, dalam mencetak uang, ada dua macam sistem, yang disebut “pseudo gold” dan “uang fiat”. Dalam sistem pseudo gold, uang yang dicetak dan beredar didukung dengan cadangan emas atau perak yang dimiliki badan yang menerbitkannya. Sedangkan dalam sistem uang f